Mencintai suatu hal yang kita sukai sejatinya adalah sebuah
kemudahan, tak perlu penolakan, tak perlu adu argumen, tak perlu selisih
pendapat, tak perlu tabuh genderang perang,bahkan bisa dibilang bahwa
mencintai sesuatu yang kita sukai adalah aktivitas yang tak membutuhkan
perjuangan sama sekali. Sama sekali. Semuanya mengalir saja. Mengalir
tanpa banyak pikir. Yang hanya akan adalah sebuar rasa, rasa nyaman yang
khusyu’ penuh kenikmatan.
Jika kerontang menerjang kian jelas sudah guyuran-Nya kan semakin
cepat datang menjelang. Bukankan itu sebuah keseimbangan? Bahkan sejak
SD kita sudah diajarkan, bahwa adalah benar hidup ini seimbangan
adanya. Ada yang memberi dan ada yang menerima, tak pernah sekalipun
dan itu bukan hal yang wajar saat anak manusia terus menerus memberi
tanpa sedikitpun menerima. Kalaupun merasa tidak, mungkin dia merasa
lupa atau merasa sombong melupakan limpahan rahmat yang telah banyak
diberikan oleh Rabbnya. Tak pernah juga seorang anak manusia itu
selamanya terus meminta – minta namun tak pernah memberi, minimalnya ia
pernah memberikan hak untuk dirinya sendiri. Ah, betapa pandainya penemu
ungkapan “terima kasih”, yang selogika saya berarti setelah menerima
sesuatu maka kita harus mengasih (memberi) kembali. Itulah yang
diajarkan ukhuwah, saling menerima untuk saling memberi, saling memberi
untuk saling menerima.
Jika menilik kembali dari berbagai fenomena alam maupun kehidupan,
sudahlah jelas gambaran ukhuwah itu semakin jelas, semakin kongkret,
semakin layak untuk diperjuangkan. Mulai dari filosofi 1 batang lidi
akan rapuh beda halnya jika diikat dan dpersatukan dalam jumlah banyak,
bentuk formasi V pada saat burung terbang untuk saling menjaga, semut
yang jika bertemu kawanannya selalu bersalaman, kumpulan lebah dalam
sarang, populasi hewan dan tumbuhan. Hey, apakah kita lupa? Kita adalah
manusia, makhluk yang sudah Allah janjikan tentang kesempurnaanya.
Berbagai fenomena dan alam telah mengajarkan. Lantas ada apa dengan
ukhuwah?
Bicara tentang ukhuwah, sepertinya tak kan pernah lari dengan yang
namanya pengorbanan. Karena daun yang gugur merelakan dirinya berjatuhan
disaat meranggas. karena sungai pada ujungnya akan bermuara pada lautan
yang penuh dengan gulungan ombak, karena kayu akan habis terbakar saat
api menjilatnya dan akan menjadikan arang atau abu. Semua itu tak kan
terjadi tanpa adanya sebuah pengorbanan. Pengorbanan tulus untuk
kebaikan saudaranya, pengorbanan tulus tetap teguh pada janji untuk
membela pada yang haq terhadap saudaranya.
Penuh dengan berbagai macam sikap, sifat, karakter, kebiasaan yang
mungkin bisa menaik turunkan tingkatan frekuensi mood kita terhadap
saudara kita sendiri. Tapi bukankah pelangi akan dikatakan pelangi saat
warnanya berwarna – warni yang akan terlihat cerah dan begitu indah?
Itulah arti saudara, berbagai macam – ragam yang terdapat dalam
dirinya, dan ukhuwahlah yang dapat mempersatukannya.
Sketsa ukhuwah, garis – garisnya tersapu lembut mengajarkan tentang
kelembutan dalam kebaikan. Begitulah sketsa ukhuwah, goresannya kian
mempertegas bahwa hidup ini akan tersa indah dengan kebersamaan.
Begitulah sketsa ukhuwah memberikan penjelasan bahwa keberuntungan akan
dapat terjaga saat kita dapat saling mengingatkan. Saling menguatkan,
saling menjaga, saling mengasihi, saling memacu diri untuk berlomba
dalam kebaikan (fastabiqul khairat). Begitulah sketsa ukhuwah
mengajarkan, membersamai dan dibersamai saudara seiman karena Allah…
semoga ikatannya kian menguat hingga bertemu kembali samapi kaki ini
menginjak jannah.
“Perumpamaan orang-orang beriman dalam cinta-mencintai. Saling
menyayangi dan bantu membantu diantara. Sesamanya laksana sebuah jasad.
Apabila salah satu bagiannya sakit,yang lain tiada bisa.Tidur di malam
hari,dan menngigil demam”.(Rasulullah saw)
Tak perlu syarat, walau hanya terlihat lewat lewat isyarat. Sumpah, ukhuwah itu dahsyat !
Maylia Putri on http://javamuslim.com/sketsa-ukhuwah/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar