CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Sabtu, 15 Juni 2013

Bersama FLP Yogyakarta



Edisi mengenang dulu perjuangan masuk FLP Yogyakarta angkatan XV. Hehe.. Essay ini adalah tugas yang harus dibuat selain harus juga membuat karya bebas. Daripada cuma dimiliki oleh pribadi (cuma ada di file laptop) dan panitia oprect FLP Jogja angkatan XV (kalau masih disimpen), mending saya bagi – bagi deh^^. Bismillah.. :)
 


Aku, FLP dan Dakwah Kepenulisan

Saat rasa itu tumbuh, geloranya kian bergemuruh merajai setiap sudut – sudut sanubari. Memberikan selaksa makna keindahan, cinta, ketenangan dengan menyudahi kemarau yang kian menggersang Adalah menulis ketika dirasa mampu menyingkirkan sumbatan aliran sungai yang akan menggaliri sawah – sawah desa. Adalah menulis, ketika tinta – tintanya deras mengalir menyatu dengan segala rupa asa dan impian. Adalah menulis ketika jemari ini menari – nari membersamai deretan huruf acak hingga menjadikannya buket cinta dalam bentuk kata – kata.
Menulis bukanlah aktvitas baru bagiku. Dibesarkan dalam keluarga pendidik yang mencintai buku membuatku akrab dengan buku – buku. Walau diawali dengan aktivitas coret – mencoret dan membolak - balik halaman untuk melihat gambar – gambar ketika masa kanak – kanak dulu. Ternyata hal tersebut berhasil menyemai benih – benih cinta pada diri ini untuk mengeja setiap huruf, membaca kata perkata dan tenggelam masuk ke dalam topik maupun cerita – cerita yang sedang ku baca. Bermula dari membaca, saat mengagumi hasil karya tinta -  tinta yang tertuang, teranggkai dalam goresan cerita dan cinta.
FLP pertama kali ku kenal ketika duduk dibangku SD. Ketika beberapa buku dari FLP tergeletak di kamar, milik saudara perempuanku. Tertulis Forum Lingkar Pena (FLP) yang terbaca ada di cover nya. Kisah – kisah fiksi dan non fiksi berhikmah yang dikemas indah dengan berbagai nama pena penulis – penulisnya yang luar bisa. Hingga terbersit keinginan saat usia SD : aku ingin seperti mereka, yang bisa memenuhi rak buku dengan nama pena ku yang tersemat di dalamnya.
  Masa – masa SMP, masa dimana aku mulai tersentuh dengan dunia menulis. Setelah sempat hanya menjadi penikmat karya –karya yang tergores dalam kertas. Kerinduan itu perlahan datang, kerinduan untuk memulai menulis. Dimulakan dengan menulis puisi – puisi, catatan harian dan sesekali dengan menulis cerpen. Seperti tank yang terus menerus diisi air, lama kelamaan akan membludak juga. Begitupun dengan karya – kayaku. Timbunan kata – kata itu akhirnya menyeruak bukan hanya untuk konsumsi pribadi. Teman – temanku mulai menikmati, walau entah “rasa” dari tulisanku seperti apa. Atau jangan – jangan mereka hanya pura – pura menikmati saja. Entahlah. Yang ku tahu, menulis dan berbahasa adalah tentang rasa. Tidak boleh ada vonis untuk karya seseorang, karena itu tentang rasa.
Aku semakin menyadari dengan asyiknya menulis. Aku bisa menjadi siapapun, menjadi apapun, dan bisa pergi kemanapun dan melakukan segala sesuatu yang ku inginkan. Ya, tergantuung tokoh yang ku utus masuk ke dalam cerita yang ku buat. Bagiku menulis bukan hanya sekedar menuangkan kata – kata, terlebih di dalamnya saat “ruh” itu berhasil membuat hidup tulisan yang ku buat. Bukankah Allah memberikan hidayah-Nya lewat berbagai cara? Bisa saja salah satunya adalah lewat sentuhan kata.
Ritual kepenulisan hingga saat ini masih ku lakukan. Hasil goresan penaku banyak yang hanya sebatas menjadi konsumsi pribadi, teman – teman sekitar, dan beberapa yang muncul di buletin kampus atau dikirim ke media online. Belum pernah dilombakan, apalagi dibukukan. Mungkin beda hal-nya dengan lomba karya ilmiah yang selalu aku buat bersama tim.
“Sebaik – baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain.” Kalimat itu sudah berhasil menohok langit – langit hati. Banyak orang yang menginginkan dirinya bermanfaat, dan sebuah kesalah besar jika potensi kebermanfaatan itu tidak bisa dimanfaatkan untuk sebuah kemaslahatan. Menulis. Di tapak tangga yang baru ini aku mencoba menaikan grade. Mencoba mengepak sayap dengan menyadari deret huruf ini tidak boleh hanya terhenti dengan keberadaannya di file - file dokumen laptop ku.
Sebuah letupan semangat, entah dimana aku mendapatkan kata - kata ini : “Mujahidah Berpedang Pena.” Dan aku ingin menjadi seperti itu. Berharap bersama lingkaran ini, aku bisa tumbuh belajar bersama mereka. menguntai kata dengan cinta hingga menjadikannya cinta. Menguatkan tekad untuk menebar kebaikan. Memangkas resah dengan tinta dakwah juga menghujani bumi Allah dengan tetes –tetes tinta dakwah. Semoga Dia yang menjadikanku ada meridhoi akan langkah – langkah ini.

Bersama purnamanya Jogja


 ^^/

Jumat, 14 Juni 2013

Pacaran itu boleh kok,




Lagi – lagi saya tulis bertemakan tentang virus mematikan satu ini. Mematikan jika tidak bisa dirawat, ganas jika tak bisa dijinakkan, berbahaya jika tidak dapat mengelolanya. Mencintai bukanlah hal hina yang harus dibasmi dan dibabat habis. Beruta – juta buku menerbitkan judul itu, banyak penulis rela merangkai kata membahas ulasan tentang itu, bahkan hampir lagu – lagu remaja yang dibawakan band – band Indonesia adalah tentang CINTA. Nggak pernah bosen dan nggak ada habisnya tentang bahasan yang satu ini. Tak kan pernah berujung jika berbicara tentang cinta.


Alhamdulillah-nya, hingga detik ini dari jaman balita, TK, SD, SMP, SMA, sampai sekarang kuliah saya belum pernah menyandang gelar “pacarnya A, B, C, D dll” atau “ceweknya A, B, C, D dll”, naudzubillah. Dan tidak akan pernaaaahhh sampai benar – benar seseorang datang menemui kedua orang tua saya dan meminta resmi diri ini dalam balutan ijab sah. Cukup itu saja. Suatu saat, saat sudah halal menjabat dan mencium tangannya. Itu saja. Suamiku (ihiiir). XD

Entah gegara saya termasuk orang yang gengsiannya minta ampun, atau karena faktor lain. Yang pasti saya sangat bersyukur diri saya tidak pernah dinodai oleh label “PACARAN”. Dulu saat SMP saya pernah berikrar “Tidak akan pernah mau pacaran, selama saya masih berstatus lajang (alias pacarannya ntar kalau pas resmi sudah menikah saja)”, dan saksinya adalah teman – teman saya. Walau saya tahu, saat itu saya belum menjaga betul adab bergaul dengan lawan jenis. Sempat beberapa kali di ejek - ejek tapi alhamdulillah saya tetap teguh memegang prinsip itu, prinsip yang berasal dari gengsi yang saat itu belum karena Allah. Sempat digoda dengan candaan dari teman – teman yang dulu menjadi saksi ikrar prinsipku yang mengatakan bahwa saya pasti akan mengalami PACARAN. Alhamdulillah Allah menjaga saya, dan itu tidak terbukti hingga detik ini saya sudah meginjak semester 6.

Meski tidak bisa dipungkiri yang namanya rasa suka, kagum atau cinta (saya agak kesulitan untuk membedakan definisinya), yang jelas rasa suka pasti adalah dirasa oleh setiap manusia NORMAL. Rasa suka kepada lawan jenis adalah sesuatu yang wajar. Namun sangat kurang ajar jika terus  diluap – luapkan, lupa dengan segala hal dengan menjadi BUDAK CINTA. Terperdaya oleh perasaannya. Selalu membenarkan diri, mengira – ira, mengandai – andai dengan egois. Berbual dengan segala kepalsuan yang penuh dengan kedustaan. Kalau gentle kalau maco, cepet dateng ke rumah ortunya, meminta si dia dengan baik – baik. Berani nggak? Kalau nggak berani dan masih menye - menye, udah putusin aja.
  

“Ih corak baju aku sama dia kok sama? Jangan – jangan kita jodoh?” padahal pabriknya nggak cuma memproduksi 1 dooang kali -__-“


“Wah perhatian banget ya si dia.”  padahal ke semua orang juga baik

Kali ini saya akan mengerucutkan tentang PACARAN. Ok, saya sudah kadung “gatel” dengan satu kata itu. Seandainya ada obat yang bisa dibeli di apotek untuk menyembuhkan penyakit itu, mau deh saya borong terus saya bagi – bagi buat orang yang terjangkit virus itu. Dan dahsyatnya virus itu menular, parah. Parah banget.

Bukan apa – apa. Bukan untuk memangkas rasa yang memang fitrah dimiliki oleh manusia, bukan untuk membakar hangus rasa.  Basi ketika ungkapan “aku sayang padamu, aku cinta padamu” berlayar layar memenuhi inbox dihapemu, mention2 mesra di twitter, mengumbar ststus alay di facebook dengan men- cc si dia. Bukankah cara itu saja sudah menandakan bahwa doi tidak bisa menghargai jerih payah orang tuanya karena mendzolimi kepercayaan rizki darinya untuk dihambur – haburkan. Beli pulsa sering – sering, buat pacaran pula. Hrrrr. Cinta – oh cinta. Gila aja kata se sakral itu dipakai untuk “mainan alay”. Apalagi kalau ada yang pacaran kemudian dia bilang : “Aku mencintaimu karena Allah.” Tanya serius, itu cinta untuk Allah nya dapat urutan keberapa? Yakin nggak pegang - pegangan, khayal – khayalan, yakin nggak bakal mikiiiriiiin terus, yakin nggak bakal dua - duan? (biar hati kecil kita saja yang menjawab).

Saya kasihan dengan korban – korban yang berjatuhan akibat “kegiatan gila” yang dilakukan dibalik kata pacaran. Anak – anak SD yang masih unyu – unyu harus mengada – ada bukan menjadi dirinya sendiri yang penuh dengan kepolosan dan apa adanya. Menurut pengamatan saya sendiri (nanya dari berbagai sumber) ternyata anak SD jaman sekarang (cewek) banyak yang sudah mengalami menstruasi lebih cepat dari jaman – jaman saya atau sebelumnya. Apa sebabnya? Banyak sebab sebenarnya walau dari faktor makanan dll juga mempengaruhi. Tapi saya nggak pernah ragu, kalau salah satu faktor yang mempercepat tingkat menstruasi adalah PACARAN atau tontonan yang blas sama sekali nggak mutu. Anak SMP yang mulai menginjak remaja banyak yang bergelimpangan ketika terbentur dengan gelora cinta yang bermukim dan merajai hatinya. Yang harusnya sibuk dengan belajar, kegiatan ekstrakurikuler banyak yang lebih milih untuk mojok dipinggir kali. Aih, mau dikemanakan generasi muda kita ini? Anak SMA juga, mengikrarkan dirinya sudah mulai dewasa (padahal parameter dewasa bukan hanya umur dan jenjang pendidikan), mulai mau tahu rasanya percik – percik api cinta. Nggombal (buat ngepel kali), seakan – akan si dia hanya satu satunya yang harus dimiliki dan menjadi pendamping hidupnya yang abadi. Seeettt dah. Atau ada yang sekedar lucu – lucuan punya pacar. Coba – coba gitu deh. Emang masa depan mau dipakai untuk coba – coba? Atau icip – icip? Mending bantu Ibumu saja masak di dapur. Apa kabar dengan mahasiswa? Yang notabene siswa yang sudah "maha".. *uhuhu panas nih ceritanya :3 (lap keringet dulu)

Pacaran itu boleh kok, boleh saat sudah ada kata “sah” terucap.

Membayang – bayangkan si dia itu boleh kok, boleh saat sudah menikah.

Rasa galau itu akan muncul jika hari – hari kita tidak disibukkan dengan kegiatan atau aktivitas yang baik – baik. Mana sempat kita bisa menggalau saat hidup kita sudah terkonsep dan teragendakan kegiatan – kegiatan mulia?. Full kan hari kita dengan kerja nyata kerja ikhlas karena Dia. Sesungguhnya hal yang paling bahagia bagi orang berpuasa adalah saat berbuka. Begitupun saat kita bisa menjaga hati dan menjaga diri, maka akhirnya akan berakhir dengan sebuah keindahan. Jangan sampai diri kita menyesali setelahnya. Yuk, semangat berubah. Berubah ke arah perbaikan. Cari seribu jawaban baik, tapi bukan mencari seribu alasan untuk melakukan pelanggaran. Apa - apa yang Allah tetapkan, percayalah bahwa semuanya adalah kebaikan untuk kita.

Jagalah hatimu, maka dia yang namanya sudah tertulis di lauh mahfudz juga akan menjaga hatinya untukmu. Tidak perlu coba – coba. Karena jodoh itu pasti sudah ada, dan akan ada saatnya :)
Masih ada waktu untuk memperbaiki...
Wallahu a’lam..

Yipii yipiiii yap yap ayookkk semangat belajar duluuuu!!!! :D

 *foto diambil waktu praktikum alat ukur elektronik^^



Rabu, 12 Juni 2013

Negeri di Ujung Langit



Semalam tadi langit menangis
    isak gunturnya terdengar menggelegar kesana kemari
      Bedakan rasanya saat kita menabur segenggam garam dalam luasnya telaga,
           dan saat kita menabur segenggam garam dalam cangkir kopi ukuran sedang.
                  Yang satu akan tetap terasa tawar,
                         dan yang satu laginya akan terasa asin hingga terasa pula kepahitannya.

Negeri di ujung langit,
      disaksikan oleh gambar yang nampak pada layar digital
            hasil bidikan manusia kurang kerjaan.
                   Negeri di ujung langit, tak pernah menyentuh langit
                          namun tetap memijak bumi.
                                 Saat lembutnya ujung langit menyentuh gerak – geriknya biru kami. 
                                          Aku berlari menuju negeri di ujung langit