CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Senin, 22 April 2013

Maaf, Dokter Bukan Jodohku!


 Semburat jingga kini mulai menyapa matahari yang tengah malu – malu akan menuju peraduan, yang akan digantikan oleh gerlap gemintang, yang akan disambut oleh lampu sabit angkasa. Angin sepoi turut mengibaskan jilbabku yang menjulur, dihias lampu – lampu kecil yang menyinar. Tingginya gedung lantai 6 tidak bosan – bosannya aku pandang. Decak kagum. Menjulang, kokoh, corak putih abu – abunya semakin menyiratkan gedung itu sangat kharismatik, menawan. Taman – tamanya yang tersusun dan terwat apik, liuk jalanan sekelilingya menjadi tempat parkir mobil – mobil bermerek. Ada pula barisan motor ber-shaf shaf membentuk formasi barisan sempurna dalam sebuah lahan parkir beratap. Tak luas tak juga sempit. Sepeda – sepeda tak bermesin juga tertata elok . Parkirnya unik, ban depannya dijepit jengan 2 besi sejajar, dibiarkan tak berstandar. Sungguh pemandangan langka. Hijaunya daun pohon mete dan mangga, ranumnya buah – buahan yang bergelayut dari rantingnya. Sempurna. Sepoinya angin telah menggugurkan daun yang kemudian jatuh merasakan lembutnya kain jilbab yang kukenakan. Siratkan sebuah harapan besar.
Kini saatnya bersujud, mengagumi segala bentuk, rupa atas segala penciptaanNya, Maha Daya, Maha Kuasa, banyak sekali hal – hal yang belum terjamah oleh logika otak manusia biasa karena memang Dialah Yang Maha Segalanya. Maha Sempura. Kau tahu apa yang ku rasakan? Begitu banyak rasa yang tersemat di hati ini, berkecamuk senang, sedih, harapan, optimis, pesimis. Ah memang benar, hal ini  layaknya iklan permen. Rasanya nano – nano. 
Ibnu Sina. Masjid itulah yang menjadi saksi linangan air mata dalam sujud maghribku. Entah bagaimana prosenya hingga membuatku tergugu seperti itu. Masjid Ibnu Sina berlantai 2, lantai 1 untuk tempat sholat putra dan tempat wudlu. Agak repot memang wudlu di tempat ini. Tempat wudlu putrinya sempit, hanya terdiri dari beberapa kran saja. Kemudian harus di lanjutkan naik ke lantai 2 yang digunakan untuk tempat sholat putri. Tak kenal sama sekali siapa orang – orang yang tersenyum simpul kepadaku. Menganggukan kepalanya. Nama – namanya aku tak tahu, bahkan wajahnya pun baru kali ini aku lihat. Tapi aku tahu, mereka yang tersenyum kepadaku memberikan pancaran keteduhan. Mungkin hatinya penuh dengan cahaya kebaikan, hingga wajah berserinya memantulkan kesehajaan. Andaikan nanti aku bisa mengenalnya..
Adzan maghrib semakin ramai. Tak hanya bersumber dari masjid ini. Masjid lain di sekitar Ibnu Sina juga dengan lantang menyerukan manusia yang sibuk atau lebih tepat disebut dengan orang sok sibuk umtuk melaksanakan sholat. Bersahut – sahutan menyerukan kebenaran. Aku larut dalam temaram rembulan. Biarkan sepoi itu mengibas seluruh gelisahku.
Mimpi itu sudah semakin mengakar kuat dalam memori dan keyakinanku. Sejak sekolah Menengah Atas aku menginginkannya. Ingin rasakan segalanya bersatu dalam nyata, bukan hanya angan semu belaka. Aku ingin dapatkannya. Aku ingin memperolehnya. Kau tau? 5 tahun berjalan sudah dan aku masih memendamnya. Memendam rasa, yang hingga detik ini tak pernah terhapus sedikitpun.
Adalah hidup, dimana segala sesuatunya berjalan dengan segala keseimbangan. Menangis untuk memupus lara, menagis untuk tersenyum, menangis untuk meredam buncah bahagia. Hati yang lain telah sempurna menyambutku. Kadang, sesuatu yang kita tidak sukai akan menjadi sesuatu yang sangat kita cintai, kadang pula sesuatu yang amat kita cintai akan pergi tanpa permisi untuk menjauh pergi.
Aku mengerti dan aku faham. Tak seharusnya keingnan bertahan untuk masih tetap menginginkan. Tak  seharusnya juga keinginan memaksa untuk selalu berwujud nyata. Kisah ini tentang rasa, tentang kesempatan yang tercecer. Rasionalku menerima, tapi mungkin saja hatiku yang bebal menerima takdir antara aku dan kamu. Mungkin karena memang benar itu sudah porsimu. Kini aku hanya membutuhkan salju untuk mencairkan hatiku. Tentang angan, mimpi dan cita - citaku yang sempat tercecer.
Pagi ini terik, lantai tiga menyambut untuk ditapaki. Kita bersebelahhan. Dan aku berada di Lab Elektronika dan Instrumentasi. Berkuat dengan resistor, mengerutkan dahi mengeja nilai resistor lewat hi-co-me-o nya. JawabanNya sangat istimewa.

“Maaf, Dokter Bukan Jodohku!!”


#yang sempat tercecer perih


Tidak ada komentar:

Posting Komentar