Semburat
jingga kini mulai menyapa matahari yang tengah malu – malu akan menuju
peraduan, yang akan digantikan oleh gerlap gemintang, yang akan disambut oleh
lampu sabit angkasa. Angin sepoi turut mengibaskan jilbabku yang menjulur,
dihias lampu – lampu kecil yang menyinar. Tingginya
gedung lantai 6 tidak bosan – bosannya aku pandang. Decak kagum. Menjulang,
kokoh, corak putih abu – abunya semakin menyiratkan gedung itu sangat
kharismatik, menawan. Taman – tamanya yang tersusun dan terwat apik, liuk
jalanan sekelilingya menjadi tempat parkir mobil – mobil bermerek. Ada pula
barisan motor ber-shaf shaf membentuk formasi barisan sempurna dalam sebuah
lahan parkir beratap. Tak luas tak juga sempit. Sepeda – sepeda tak bermesin
juga tertata elok . Parkirnya unik, ban depannya dijepit jengan 2 besi sejajar,
dibiarkan tak berstandar. Sungguh pemandangan langka. Hijaunya daun pohon mete
dan mangga, ranumnya buah – buahan yang bergelayut dari rantingnya. Sempurna.
Sepoinya angin telah menggugurkan daun yang kemudian jatuh merasakan lembutnya
kain jilbab yang kukenakan. Siratkan sebuah harapan besar.
Kini saatnya
bersujud, mengagumi segala bentuk, rupa atas segala penciptaanNya, Maha Daya,
Maha Kuasa, banyak sekali hal – hal yang belum terjamah oleh logika otak
manusia biasa karena memang Dialah Yang Maha Segalanya. Maha Sempura. Kau tahu
apa yang ku rasakan? Begitu banyak rasa yang tersemat di hati ini, berkecamuk
senang, sedih, harapan, optimis, pesimis. Ah memang benar, hal ini layaknya
iklan permen. Rasanya nano – nano.
Ibnu Sina.
Masjid itulah yang menjadi saksi linangan air mata dalam sujud maghribku. Entah
bagaimana prosenya hingga membuatku tergugu seperti itu. Masjid Ibnu
Sina berlantai 2, lantai 1 untuk tempat sholat putra dan tempat wudlu. Agak
repot memang wudlu di tempat ini. Tempat wudlu putrinya sempit, hanya terdiri
dari beberapa kran saja. Kemudian harus di lanjutkan naik ke lantai 2 yang
digunakan untuk tempat sholat putri. Tak kenal sama sekali siapa orang – orang
yang tersenyum simpul kepadaku. Menganggukan kepalanya. Nama – namanya aku tak
tahu, bahkan wajahnya pun baru kali ini aku lihat. Tapi aku tahu, mereka yang
tersenyum kepadaku memberikan pancaran keteduhan. Mungkin hatinya penuh dengan
cahaya kebaikan, hingga wajah berserinya memantulkan kesehajaan. Andaikan nanti
aku bisa mengenalnya..
Adzan maghrib
semakin ramai. Tak hanya bersumber dari masjid ini. Masjid lain di sekitar Ibnu
Sina juga dengan lantang menyerukan manusia yang sibuk atau lebih tepat disebut
dengan orang sok sibuk umtuk melaksanakan sholat. Bersahut – sahutan menyerukan
kebenaran. Aku larut dalam temaram rembulan. Biarkan sepoi itu mengibas seluruh
gelisahku.
Mimpi itu sudah
semakin mengakar kuat dalam memori dan keyakinanku. Sejak sekolah Menengah Atas
aku menginginkannya. Ingin rasakan segalanya bersatu dalam nyata, bukan hanya
angan semu belaka. Aku ingin dapatkannya. Aku ingin memperolehnya. Kau tau? 5
tahun berjalan sudah dan aku masih memendamnya. Memendam rasa, yang hingga detik ini tak pernah terhapus
sedikitpun.
Adalah
hidup, dimana segala sesuatunya berjalan dengan segala keseimbangan. Menangis
untuk memupus lara, menagis untuk tersenyum, menangis untuk meredam buncah
bahagia. Hati yang lain telah sempurna menyambutku. Kadang, sesuatu yang kita
tidak sukai akan menjadi sesuatu yang sangat kita cintai, kadang pula sesuatu
yang amat kita cintai akan pergi tanpa permisi untuk menjauh pergi.
Aku
mengerti dan aku faham. Tak seharusnya keingnan bertahan untuk masih tetap
menginginkan. Tak seharusnya juga keinginan memaksa untuk selalu berwujud
nyata. Kisah ini tentang rasa, tentang kesempatan yang tercecer. Rasionalku
menerima, tapi mungkin saja hatiku yang bebal menerima takdir antara aku dan
kamu. Mungkin karena memang benar itu sudah porsimu. Kini aku hanya membutuhkan
salju untuk mencairkan hatiku. Tentang angan, mimpi dan cita - citaku yang
sempat tercecer.
Pagi
ini terik, lantai tiga menyambut untuk ditapaki. Kita bersebelahhan. Dan aku
berada di Lab Elektronika dan Instrumentasi. Berkuat dengan resistor,
mengerutkan dahi mengeja nilai resistor lewat hi-co-me-o nya. JawabanNya sangat
istimewa.
“Maaf,
Dokter Bukan Jodohku!!”
#yang
sempat tercecer perih
Tidak ada komentar:
Posting Komentar